Monday 5 March 2007

ALASAN MENJADI AUTIS

Yang saya ketahui autis adalah suatu penyakit mental. Dan saya sering berkata bahwa autis saya kumat. Namun, saya tidak bermaksud untuk menghina mereka yang menderita penyakit tersebut. Karena bagi saya pribadi, autis adalah salah satu bentuk refleksi diri. Yaitu ketika saya sedang menyendiri dan tidak ingin diganggu dengan aktvitas dan opini orang lain. Orang lain di sini antara lain orang-orang di lingkungan yang saya kenal (rekan-rekan) atau bahkan orang-orang yang tidak di kenal. Saat sendiri ini adalah waktu yang paling pribadi bagi saya. Ketika saya berkencan dengan diri saya sendiri.
Mungkin terdengar aneh. Akan tetapi saya yakin setiap dari kita membutuhkan waktu bagi dirinya sendiri tanpa gangguan dari siapa pun. Kenapa siapa pun? Karena orang-orang di sekitar kita terkadang memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi. Bahkan kalau pun tdak sampai ekstrim untuk mengompori, hanya dengan berkomentar pun sudah cukup mengusik diri. Mengusik diri di saat autis kita sedang kambuh.
Dalam buku ”Menulis Artikel itu Gampang” karangan Nurudin, ada sebuah contoh artikel tentang autisme yang diambil dari harian Republika, 8 September 1999. Penulisnya adalah Nurudin, seorang staf pengajar Fisip di Universitas Muhammadiyah Malang. Artikel tersebut berjudul ’Ancaman Orang-orang Autistis’. Paragraf yang saya kutip adalah sebagai berikut.
”Autisme berasal dari bahasa Yunani autos artinya ‘diri sendiri’. Dengan kata lain, ia merupakan suatu keadaan atau pendirian/sikap hidup di mana orang terserap oleh gagasan, pemikiran, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri, sampai tidak mementingkan sesama, masyarakat, dan keadaan sekitarnya (Mangunharjana, 1997).”
Penggalan paragraf yang saya kutip adalah definisi autis ditinjau dari ilmu filsafat. Adapun autistis dalam artikel itu dipakai untuk menyebut orang yang mempunyai sikap/pendirian, tingkah laku autisme.
Saya sendiri adalah salah seorang penderita autis dalam definisi ilmu filsafat (autis dalam arti ”semau gue”). Oleh karena itu, saya akan mengutip kembali artikel Nurudin yang menerangkan nilai positif dari autisme.
Pertama, autisme bisa menunjukkan yang bermental massal, asal selamat, rubuh-rubuh gedang (ikut-ikutan), dan kehidupan yang sangat ’tergantung’. Kedua, autisme bisa menjadi simbol perlawanan untuk kekuasaan yang absolut dan tanpa kontrol secara efektif. Di tengah kekuasaan yang otoriter, ia muncul sebagai seorang pahlawan yang selalu dinantikan kehadirannya.”
Tidak ada yang salah dengan menjadi berbeda dari orang lain. Tidak juga salah dengan menjadi seorang autistis. Tidak massal. Bukan barang kodian. Tetapi tentunya tetap harus menghargai norma yang ada dan tanpa perlu memaksakan kehendak.
Saya bukan bermaksud menjadi pahlawan yang muncul mendadak. Saya cuma menginginkan satu hal, kebebasan. Ketika sedang sendiri saat autis saya kambuh, saya bisa bebas menentukan 5 W dan 1 H terhadap diri saya sendiri tanpa direcoki dengan pendapat-pendapat orang lain. 5 W ini terdiri dari What (Apa), Who (Siapa) When (Kapan), Why (Mengapa), Which (Yang Mana), dan 1 H berupa How (Bagaimana). Karena saya yakin bahwa tidak ada orang yang mengenal diri saya sebaik diri saya sendiri.

Herlinda Putri – Kimia UNPAD

1 Comments:

Blogger duniaputri said...

inih dimuatnyah tanggal 4 mei 2007... belom ada lagih... hux hux hux... ;p cemangadh!!!

11/12/2007 1:21 pm  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home